Selamat Datang,, Sudahkah Anda Bersyukur Hari Ini ?

Selamat Datang,, Sudahkah Anda Bersyukur Hari Ini ?

Jumat, 23 November 2012

Tanda seru

"Hei, kamu sehat?"
"Kenapa kamu hubungi aku lagi?"
"aku dengar kamu sakit, cuma mau tau keadaan kamu sekarang,"
"iya, aku sakit, demam, tapi udah gak papa, udah diobatin juga kok,"
"oh, baguslah kalau gitu,"

Kita berpisah, bukan, aku memilih untuk berpisah denganmu sekitar tujuh bulan lalu. Keputusan sulit saat itu, bagaimana mungkin aku meninggalkan orang yang selama bertahun-tahun menjadi kekasihku.

Sudah tidak pernah lagi ada bahasa diantara kita sejak itu. Sampai beberapa bulan lalu kau kembali rajin datang dengan banyak cerita. Sebuah cerita antara kau dan orang yang kau sebut kekasih barumu.
Tidak ada rasa sakit, semua berjalan biasa. Aku tidak lagi merasa luka, karena kau pun tau aku yang memilih berpisah.

Aku masih bisa menikmati tiap cerita yang ada. Bukan hanya darimu, ada banyak manusia dalam duniaku. Aku tidak suka menolak cerita, walaupun itu membuatku menggelengkan kepala dan memutar otakku lebih keras dari biasanya.
Kau mulai sering membagi tiap masalahmu, masalah yang hanya kau bagi padaku.
Kau tau bagaimana rasanya dipercaya begitu besar? Ada sedikit kecewa, kenapa harus aku? Kenapa bukan dia?
Saat kau memilih menghabiskan sebagian dalam hidupmu bersama orang lain, bukankah kau juga harus percaya dia bisa menjadi audien yang baik bagimu?

Sampai akhirnya aku lelah untuk kesekian kalinya.
Saat kau kembali menyalahkanku atas berpisahnya kita. Aku yang salah, aku yang tak lagi percaya bahwa kita bisa terus bersama.
Kau tidak pernah mau tau, atau mencoba sedikit peduli kenapa aku ambil keputusan ini.

"Kau bilang tidak akan menghubungi aku lagi," kau kembali dengan kalimatmu itu. "Tidak, kecuali itu benar-benar perlu," jawabku. "Dan menanyakan keadaanku adalah hal yang benar-benar perlu?". "Ya," . "Kepedulianmu membuatku makin sakit, kau sadar itu?" "Maksudmu, aku sudah tidak boleh peduli pada temanku sendiri?". "Ya, tidak usah, kau pedulikan aku lagi, hidupku,"

Pembicaraan ini ditutup dengan sebuah bentakan darimu, kalimat dengan nada tinggi tidak terimanya kau dengan perpisahan ini. Andai kau tau, aku pun sulit saat itu. Menerima kenyataan bahwa kau tidak peduli dengan pecahan hidupmu di masa kini. Kau selalu anggap aku sebagai perempuan yang delapan tahun lalu kau kenal. Perempuan yang begitu egois, dan pintar. Aku menemukan banyak orang baru dalam hidupku, pandanganku berubah, dan kau masih belum terima. Aku, bukan Danisha yang dulu kau kenal.

"Kau yang minta pisah! Kau juga yang sekarang mencoba untuk jadi kawan baik untukku. Apa alasanmu ha!"
"Kita udah pernah bicarakan ini, kan"
"Apa? alasanmu mutusin hubungan kita? Kenapa? Karena aku udah gak pantas sama kamu? Itukan alasanmu!"
"Bukan! Karena kamu udah gak lagi memperjuangkan kita, itu alasan aku pisah!"

Aku benci saat harus bicara dengan nada tinggi. Tapi aku pun tak pernah tau bagaimana caranya menghadapi kalimatmu, emosimu.
 Sebuah pesan singkat masuk saat aku mendengarkan cerita hidup temanku.

"Tidak usahlah lagi kau telefon aku,"
"Baiklah, kalau itu maumu."

Rabu, 21 November 2012

hujan malam ini

Hujan malam ini, aku tidak bisa merasakan tiap tetesnya.
Pekerjaan ini terlalu menumpuk untuk ditinggalkan. Aku harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai, kan. 
Sebuah lagu beralun pelan dari sela speaker laptop mini ini. Lagu yang pernah kau kirimkan empat bulan lalu, saat aku masih ada di tanah monas.
Aku ingat kau memintaku menilai tiap nada dan lirik yang ada, seakan aku adalah pemerhati musik yang luar biasa.

Perbincangan cukup lama waktu itu menyatukan kita kembali dalam sebuah diskusi yang kurindukan. Bagaimana kau dengan sabar menungguku selesai bicara. Kau utarakan doamu dalam lagumu, mengharap akan ada kelanjutan dari hasil kreasimu.

Lagu ini kembali berputar, kali ini kudengar seksama. Aku ingat bagaimana kau begitu semangat menceritakan kisah dibalik petikan gitar kesayanganmu itu. Sebuah cerita yang sering kau utarakan tiap telingaku terpasang untuk suaramu.

hmm, teh hijau malam ini kembali menenangkan aku setelah sehari ini berada di kampus. Iya, kau juga tau aku sedang berusaha menurunkan bobot tubuhku, seperti yang pernah kita bicarakan dulu.
Aku ingat, kau juga pernah bernyanyi untukku, menciptakan lagu untukku di sela-sela ujian kesenian sekolah dulu, sekitar tujuh tahun lalu.
Ya, aku ingat, kau membawa gitarku, yang bahkan sekarang tak pernah kusentuh lagi. Kau beri aku selembar kertas dengan tulisan beberapa paragraf.
Liriknya tentang cinta, dan aku hanya bisa tertawa karena rimanya mirip pantun melayu.
Aku mendengarmu menyanyikan lagu itu, aku tetap tidak mengerti dengan liriknya. Yang aku tau, kau bilang kau menyayangiku lewat lagu itu.
hahha, ingatanku memang parah, kau pun tau itu.

Tapi aku ingat, dulu saat hujan di hari Jumat siang, sebelum kita pulang, pernah kita berdua diam. Saling menatap dan menampung hujan dengan tangan. Tidak ada suara saat itu, yang kita rasa, ada damai di dalamnya. Kadang aku rindu dengan adegan diam kita kala hujan. Bagaimana aku bicara sendiri kemudian bernyanyi dengan suara paling pas-pasan. Kau hanya menertawaiku dan menyambung lagu itu bila kau tau. 
Aku ingat masa itu, masa dimana kita belum bicara tentang hidup kita nanti.

Kau tau, di hidupku sekarang sudah tidak ada lagi kau menikmati hujan bersamaku. Saat ini aku lebih suka membekukan hujan lewat kamera dan mendengarkan suaranya saat jatuh menimpa atap gedung di kampusku.
aku masih menikmati hujan, dengan caraku, dan tak lagi denganmu di sampingku.
Kadang aku menyanyikan lagu yang sama-sama kita nyanyikan di tahun itu.
Dengan lirik yang aku lupa sebagian.

Kepadamu, sebuah cerita di masa remajaku. Kau pun tau aku tidak akan melupakan tiap cerita diantara kita. tidak ada yang harus dilupakan.
Kisah itu adalah warna, dan aku menyukai warna dalam hidupku. Kali ini, ukirkan ceritamu sebaik-baiknya dengan dia, kau pun tau siapa maksudku.

Yah, masa lalu, mungkin itu nama yang tepat untuk cerita kita. Tidak, aku tidak berpikir untuk mengulangnya, kita pernah kembali mencoba tapi tak berhasil, kemudian aku menyerah menggapai kita. 
Cerita kita menahun, kali ini biarkan aku mencoba, tidak lagi denganmu.

Hey, hujan di rumahku sekarang berhenti. Andai ini siang, aku pasti sudah keluar dan melihat pelangi.
Bagaimana dengan rumahmu? Apa Tuhan memberikan berkah juga malam ini?
teruslah bahagia, untukmu yang tak lagi menjadi kekasih. 

Selasa, 13 November 2012

Teduh

Kali ini semuanya biasa saja, memang lebih baik begini adanya.
Ada tawa mengiring pada wajah dengan air mata mengering.
Kuhamparkan rasa dalam indahnya langit biru, ada cermin pantulkan bayanganmu.
Kau tersenyum, tinggikan suara musik dalam ruang kita.

Aku mulai menikmati rasanya mencintaimu dalam diam.
Tidak ada lagi kelugasan kata.
Untuk apa, jika hasilnya adalah jarak yang menyiksa.
Aku menyukai senyummu, teduh.
tetaplah begitu.

Aku menyukai bagaimana kau membuat tawa membahana dalam satu ruang.
Caramu begitu orisinil, menjadi ciri khasmu, menjadi hal yang selalu kurindukan dalam dirimu.
aku menyukai kau mengasihi setiap kawanmu.
teduh, dan tetaplah begitu.



itu dulu

"Saya pernah begitu mencintai kamu, tapi itu dulu,"

"maka jangan berganti, tetaplah begitu,"
"saat kau sudah memiliki kekasih?"

"itu bukan masalah, aku gak sayang dia, aku sayang kamu,"
"maka jadi hal yang aneh, bertali kasih tanpa rasa sayang? kau bercanda."

"kau tidak percaya?"

"tidak ada alasan untuk percaya," 

"kamu adalah masa remajaku, cinta pertamaku. Kamu tau aku benar-benar mencintaimu. Kamu tau itu."

"Kita pernah bersama, tapi itu dulu. Sekian tahun dan kesempatan kembali selalu ada, tapi itu dulu. Sampai kamu berhenti berjuang menggapai kita."

"Berhenti? aku tidak pernah berhenti. Bagaimana aku berhenti bernafas tanda udaraku?"

"Aku bukan Tuhan, Lex."

"Tapi Tuhan menciptakanmu untukku, aku yakin itu."

"Bagaimana bisa kau seyakin itu sementara berdoa padaNya kau begitu jarang?"

Alex, itu nama yang digunakannya saat berkenalan denganku sembilan tahun lalu.
Dia masa remajaku, kekasih pertamaku, mungkin juga cinta pertamaku.
Menghabiskan sekian lama bersamanya tak membuat keteguhanku bertahan padanya.
Pada akhirnya, saat kau mencintai seseorang, kau akan berjuang untuk tetap bersamanya.
Saat kau sadar, berlari pun tak lagi mungkin. Kau hanya bisa berjalan lambat, kemudian menunggunya berada di sampingmu. Kau tau seberapa banyak menit yang kau habiskan, mimpi yang kau abaikan, manusia yang tak kau acuh kan.
Hingga akhirnya kau memilih berhenti.


Kamis, 01 November 2012

jitak-able message

"Sein, yang di depan ruangan kemaren, gak lagi pacaran kan?" pertanyaan ini kukemas dalam pesan singkat, dan aku tau, ini adalah salah satu pertanyaan gak penting yang pernah ada waktu kulihat Sein duduk berdua dengan seorang perempuan di depan ruangan kami.

"Kacih tau gak yaachh," dan dia pun mulai dengan jawaban yang benar-benar jitak-able.

"serius Sein..."

"mau tau ajaaaaa,"

"-_- Sein.."

"coba tebak ajaaaaaa," dan lelaki gila ini justru mengajakku main tebak-tebakkan. Mungkin dia belum pernah dikutuk naksir seseorang segila ini.

"gak pacaran, kan kan? ya kan?"

"enggaaaa.. iyaaaa.. enggaa.. iyaaa.." dia memang minta dijitak, andai ada portal.

"Seinnnn.."

"itulah enaknya ngejar orang, semuanya misteri. kita bermain dengan pikiran sendiri, nikmati aja dulu Nish,"

"Gak akan enak kalau yang dikejar ternyata udah punya pacar,"

Nikmati, iya, dia mau aku menikmati pengejaran ini, aku yang mengejar dia.
dan dia tau proses ini. Bedebah sekali dia.
tapi bagaimana pun, aku tetap suka.

Ruang

Sein dan aku mengobrol seperti biasa.
Ruangan ini rasanya lebih nyaman bila hanya ada aku dan dia. Tidak perlu ada yang lain.
Dia masih menikmati makanan di depannya, sesekali memandang laptop di sampingnya.

"Gak ikut penelitian, Nish?"
"enggak, minggu ini aku seminar," aku selalu menyukai percakapan kami yang dimulai dulu olehnya. Setidaknya aku gak perlu menyiapkan topik pembicaraan kami dan berpura-pura tidak ada kupu-kupu dalam perutku. "Cepat ya, ngapain sih cepat-cepat selesai kuliah?" pertanyaan ini ingin kujawab sekenanya, "iya sih, kalau lama kan bisa lama-lama sama kamu," taapi kuurungkan. Akan aneh jadinya.
"Bapakku nyuruh cepetan sih," kemudian dia tersenyum, entah karena laptop di depannya atau karena jawabanku.

"Sein..."
"ya?"
"aku mau tanya, tapi ini serius,"
"hahhaha, apa?"
"kau udah move on belum sih?"
"hahhahahhaha, mau tauuuu aja"
"yeee, serius ini,"
"hahhahahha"

dan perbincangan ini berakhir saat sekumpulan lelaki penghuni lain ruangan ini muncul.
tidak ada lagi ruang berbicara dengannya.


_Semoga kau sudah move on, Sein

ada cerita


Hari ini seperti biasa. Kami tidak bicara. Tidak ada yang mengeluarkan suara.
Seperti biasa pula, hari ini aku hanya memandanginya dari belakang. Punggung itu terlihat lelah.
Entah apa yang dia lakukan semalam.

"aku punya ide seru," ucapku pada Ikari yang duduk di depanku.
"apa?"
"Seru kan kalau aku duduk di belakang Sein?"
"Berani?"
aku memandang Sein yang duduk sekitar enam meter arah jam 2 dari tempatku, "enggak jadi deh,"
"yaa, ayo dong, nanti kuduluin lho," Ikari memainkan matanya.
"hahha, enggak deh, susah nanti,"

Sein, nama itu yang kupilih mewakili dia.
Dia duduk tenang di bangkunya, membuka lembaran print out bahan kuliah hari ini.
tak lama, dia keluar ruangan dengan tenang.
Mataku mengikuti langkahnya.
Beberapa detik setelahnya, adzan Dzuhur berkumandang.
Dia selalu cepat perkara ibadah.
Satu hal yang aku tau, itu juga yang membuatku jatuh cinta padanya.


_bersamamu, kuingin mengukir kisah