"Hei, kamu sehat?"
"Kenapa kamu hubungi aku lagi?"
"aku dengar kamu sakit, cuma mau tau keadaan kamu sekarang,"
"iya, aku sakit, demam, tapi udah gak papa, udah diobatin juga kok,"
"oh, baguslah kalau gitu,"
Kita berpisah, bukan, aku memilih untuk berpisah denganmu sekitar tujuh bulan lalu. Keputusan sulit saat itu, bagaimana mungkin aku meninggalkan orang yang selama bertahun-tahun menjadi kekasihku.
Sudah tidak pernah lagi ada bahasa diantara kita sejak itu. Sampai beberapa bulan lalu kau kembali rajin datang dengan banyak cerita. Sebuah cerita antara kau dan orang yang kau sebut kekasih barumu.
Tidak ada rasa sakit, semua berjalan biasa. Aku tidak lagi merasa luka, karena kau pun tau aku yang memilih berpisah.
Aku masih bisa menikmati tiap cerita yang ada. Bukan hanya darimu, ada banyak manusia dalam duniaku. Aku tidak suka menolak cerita, walaupun itu membuatku menggelengkan kepala dan memutar otakku lebih keras dari biasanya.
Kau mulai sering membagi tiap masalahmu, masalah yang hanya kau bagi padaku.
Kau tau bagaimana rasanya dipercaya begitu besar? Ada sedikit kecewa, kenapa harus aku? Kenapa bukan dia?
Saat kau memilih menghabiskan sebagian dalam hidupmu bersama orang lain, bukankah kau juga harus percaya dia bisa menjadi audien yang baik bagimu?
Sampai akhirnya aku lelah untuk kesekian kalinya.
Saat kau kembali menyalahkanku atas berpisahnya kita. Aku yang salah, aku yang tak lagi percaya bahwa kita bisa terus bersama.
Kau tidak pernah mau tau, atau mencoba sedikit peduli kenapa aku ambil keputusan ini.
"Kau bilang tidak akan menghubungi aku lagi," kau kembali dengan kalimatmu itu. "Tidak, kecuali itu benar-benar perlu," jawabku. "Dan menanyakan keadaanku adalah hal yang benar-benar perlu?". "Ya," . "Kepedulianmu membuatku makin sakit, kau sadar itu?" "Maksudmu, aku sudah tidak boleh peduli pada temanku sendiri?". "Ya, tidak usah, kau pedulikan aku lagi, hidupku,"
Pembicaraan ini ditutup dengan sebuah bentakan darimu, kalimat dengan nada tinggi tidak terimanya kau dengan perpisahan ini. Andai kau tau, aku pun sulit saat itu. Menerima kenyataan bahwa kau tidak peduli dengan pecahan hidupmu di masa kini. Kau selalu anggap aku sebagai perempuan yang delapan tahun lalu kau kenal. Perempuan yang begitu egois, dan pintar. Aku menemukan banyak orang baru dalam hidupku, pandanganku berubah, dan kau masih belum terima. Aku, bukan Danisha yang dulu kau kenal.
"Kau yang minta pisah! Kau juga yang sekarang mencoba untuk jadi kawan baik untukku. Apa alasanmu ha!"
"Kita udah pernah bicarakan ini, kan"
"Apa? alasanmu mutusin hubungan kita? Kenapa? Karena aku udah gak pantas sama kamu? Itukan alasanmu!"
"Bukan! Karena kamu udah gak lagi memperjuangkan kita, itu alasan aku pisah!"
Aku benci saat harus bicara dengan nada tinggi. Tapi aku pun tak pernah tau bagaimana caranya menghadapi kalimatmu, emosimu.
Sebuah pesan singkat masuk saat aku mendengarkan cerita hidup temanku.
"Tidak usahlah lagi kau telefon aku,"
"Baiklah, kalau itu maumu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar