Kepada kamu, senja yang menawan luka pada tiap kata.
Kuharap kau mendengar tiap harmoni dari hati yang mulai bernanah.
Kau tak penah fahami, mungkin memang tak pernah mencoba mengerti.
Lalu aku harus apa lagi, menangisi tiap detik yang pernah kita lalui ?
Aku langkahkan kaki pada deret jalan kecil, baru, masih ada bau rumput, hijau.
Ada embun masih melekat pada ujung mimosa yang mengatup kala kuinjak.
Beriring semut api melalui lubang antara tanah.
Masih basah, ada potongan daun busuk menempel di sepatuku.
Apa kau masih ingat jalan itu ?
Jalan yang pernah kau tunjukan padaku, dulu.
Pertama kali aku bermain jauh dari rumah, mengikutimu, melihat daratan yang tak pernah tersentuh mataku.
Aku, tenang, sedamai alunan angin yang manari bersama ilalang.
Kau ingat kala hujan mulai turun, lalu membuat kita berlari.
Berlari namun berhenti, kau lalu membuatku menari.
Menari bersama rintik hujan, membiarkan segala lelah luntur bersama airnya.
Kau, pagut bibirku perlahan.
Hangat,
hingga aku menyukainya.
Hujan. Aku begitu menyukainya.
Kau mampu membuatku menunggu, menunggu hingga kakiku kaku.
menunggu hingga jantungku berasa kelu.
Aku tetap menunggu.
Kau berjalan, aku hanya mampu memandang punggungmu.
Punggung yang pernah kurengkuh.
Kau, berjalan dengan nyala api di tanganmu.
Menamparku hingga berdarah, menepis pipiku hingga biru.
Kau hujam jantungku, dadaku sesak.
Kepalan tanganmu, tangan yang pernah menggenggamku, dulu.
Aku tak pernah tau, bila hati itu mulai membeku.
Menahun aku menunggumu.
Menyatukan bongkahan hati yang telah lama membatu.
Kau buatku berhenti menunggu.
Lebam di pelipisku, sesak di jantungku, nanah di kakiku.
Kau buatku berhenti mencintaimu.
Tiap kata yang pernah membuatku tertunduk malu.
Terhapus dengan api pembunuh dari amarahmu.
Aku kalut, carut marut dalam dadaku.
Kau mulai berhenti perduli.
Aku mulai mencari, tapi kau tak kunjung kutemui.
Hingga aku terhenti pada persimpangan takdir antara kita.
Aku tak mampu lihat bayanganmu, bahkan punggungmu tak menyemut di ujung mataku.
Lalu aku berpaling, berjalan jauh berharap masih bertemu denganmu.
Namun kembali, menahun aku berjalan hingga kaki mati rasa.
Kau tak pernah ada.
Maka biarkan aku berhenti.
Hingga nanti aku mungkin melihatmu kembali,
biarkan aku tetap berjalan sendiri.
Tanpamu, tanpa hati yang tlah mati.
Kau tau, aku bernyanyi, sebuah elegi.
Elegi tentangmu, tentang hati kita yang tak lagi berupa.
Kini angin menembus rambutku.
Kupandangi ilalang di padang kita bertemu dulu.
aku sendiri, kau tak pernah muncul lagi.
Tinggal aku, bayanganku, dan hati yang tak lagi menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar